Tuesday, January 26, 2010

SALAM


KE NEW DELHI URUSAN PERNIAGAAN,,,,,AKAN KEMBALI SEMULA KE TANAH AIR 2 FEB 2010, INSYA ALLAH...

Tuesday, January 19, 2010

Ulama dan Politikus – Dr Yusuf Qardawi Dan Anwar Ibrahim

Salam,


Apapun yang dinikmati oleh manusia pada hari ini, material mahupun spiritual, maka tidak dapat dilepaskan daripada hasil buah fikiran para ulama (ilmuan perlbagai bidang bukan hanya agama ). Para pemikir telah merubah wajah dunia dari masa ke semasa, dengan segala nilainya, positif maupun negatif. Sekalipun banyak yang merupakan keberadaan yang tidak memiliki nilai atau bebas nilai, iaitu nilainya adalah daripada nilai guna, bukan nilai dari apa yang diciptakan oleh para pemikir. Para ulama terus berusaha melakukan semua usaha kerana tuntutan dan profesion yang dimilikinya, dengan menghasilkan berbagai rupa dan bentuk sesuai dengan bidang yang dikuasainya.


Sekian banyak daripada hasil buah fikiran para ulama yang member kesan positif dan tidak terkira pula yang membawa hasil yang negatif. Mulai dari pemikiran, fatwa, pandangan hingga dengan hasil teknologi dan sains, dinikmati oleh sebahagian dan juga diderita oleh sebahagian yang lainnya. Teknologi yang semestinya hasil yang bebas nilai, tetapi tidak semuanya hasil pemikiran ulama yang boleh digunakan manusia untuk nilai positif, tetapi ternyata ada banyak yang membawa akibat negatif.


Ada ungkapan yang menyatakan: “kalau seorang ulama menjadi fasad maka alampun akan menjadi fasad” (Iza fasad ul alim fasadul alam”. Lepas daripada sumber ungkapan ini, fenomena ini boleh berlaku dimanapun dan bilapun sahaja. Atau sesuai dengan ungkapan bahawa ketika seorang alim menjadi fasad maka kefasadan dirinya akan mempengaruhi seluruh alam. Akibat yang besar akan berpengaruh pada kehidupan alam semesta dan membawa kesan yang panjang.


Ulama di sini tidak semestinya ulama dalam bidang agama, tetapi juga seluruh makna yang tercakup didalamnya. Namun demikina, ulama dalam agama akan lebih membawa pengaruh lebih besar dibanding dengan ulama dalam bidang lain. Ini adalah kerana ulama dalam agama akan membawakan nilai yang bersifat spiritual serta mewakili ajaran yang dinisbahkan kepada Tuhan, iaitu ajaran agama. Pengaruhnya akan melibatkan ideologi, cara hidup dan juga pola berfikir dan pada peringkat selanjutnya, adalah pola hidup bermasyarakat dan bernegara.


Sebagaimana dapat kita lihat dari Revolusi Perancis dengan keterkaitannya pada ulama gereja. Sebelum terjadinya revolusi, paderi menguasai kerajaan-kerajaan yang ada. Posisi ulama agama (paderi) sangat mempengaruhi kehidupan politik kerajaan-kerajaan di Eropah khususnya. Pengaruh paderi sampai pada para pemikir dan intelektual atau kehidupan politikus serta masyarakat yang ada di bawah penguasa kerajaan atau pemerintah. Paderi mencantumkan doktrin agama yang dibawanya dan meletakkan diri mereka sebagai wakil Tuhan untuk membimbing manusia ke tempat yang “benar”.


Terjadinya revolusi Perancis bukan hanya menyangkut keadaan politik dan budaya tetapi juga pola berfikir yang diciptakan, sengaja atau tidak, oleh ulama ( baik pemikir, intelektual ataupun paderi) pada masa itu. Keadaan yang sudah diciptakan oleh paderi atau ulama agama (Kristian) telah mengakibatkan revolusi itu, dengan itu, seolah-olah dunia berubah total. Era enlightment tidak hanya menandakan bermulanya revolusi Perancis, tetapi seolah- olah telah merubah wajah dunia dan hingga sekarang kesan darinya masih terasa. Ungkapan “modern” adalah hasil dari gejolak revolusi Perancis, dan kata itu terus s membawa kesan hingga sekarang, dan berpengaruh kuat dalam kehidupan manusia.


Betapa banyak manusia yang ingin masuk dalam era yang diistilahkan “modern” dan betapa banyak orang yang ketakutan kalau tidak masuk dalam katagori tersebut, seolah olah dunia hanya memiliki batasan standad iaitu modern. Kata ini menjadi pembatas kehidupan manusia, dan juga merupakan batasan standad kehidupan manusia dan kemanusiaan. Pada sisi lain, hilangnya nilai-nilai dasar yang seharusnya dimiliki manusia itu sendiri, kerana telah tersingkir oleh istilah modern. Sehingga semua nilai seolah-olah hanya boleh dipakai kalau memasuki kriteria modern, kalau tidak maka tidak dapat diterima atau dianggap ketinggalan zaman.


Nilai agama, sejak itu berada dalam krisis yang penuh dilema. Nilai-nilai yang semestinya menjadi absolute dan menjadi standad dalam hidup, kini harus dinilai dengan standad lain untuk boleh dimasukkan dalam kriteria modern, sehingga betapa banyak nilai agama tidak digunakan hanya kerana menurut sebahagian ulama, pemikir atau intelektual, dinyatakan tidak modern.
Putaran atau rotasi hasil pemikiran para ulama sangat membawa pengaruh yang cukup besar dalam penentuan keputusan di dalam kehidupan, baik dalam kehidupan sosial atau kemasyarakatan atau bernegara. Ulama (baik agama mahupun sekular) telah menjadi standad dalam kehidupan, untuk memisahkan mana yang dapat di terima atau tidak. Malah nilai benar dan salah ditentukan oleh penilaian para ulama. Mereka yang menentukan garis tersebut.


Hanya dengan ke ilmuan ulama jalan menuju harapan yang diinginkan manusia akan dapat dicapai. Sehingga dapat dikatakan bahwa manusia akan menjadi manusia hanya dengan bimbingan dan petunjuk mereka. Betapa sukar untuk melepaskan diri dari kenyataan ini, kerana inilah yang sekarang telah menguasai kehidupan manusia.
Dengan adanya institusi pendidikan yang disepakati “ulama” telah mengklasifikasikan ulama dalam posisi tertinggi dalam kehidupan manusia. Perjalanan kehidupan hanya dapat dilaksanakan dengan keberadaan ulama atau yang satu tingkat dengannya. Semua seolah telah sepakat, hanya sarjana yang menjadi standad keilmuan, sebagaimana ulama agama dengan memiliki kelulusan yang disepakati yang dapat memegang gelaran ulama. Tanpa itu, maka keluar dari standad.


Begitu juga dalam kehidupan politik. Politikus harus memiliki gelar atau status keilmuan, sehingga dia dapat menjalankan tugasnya sebagai politikus, inilah standad yang sudah tidak dapat ditolak hari ini, sehingga mustahil untuk keluar dari pola barfikir seperti ini, kecuali kalau hal itu dianggap sebagai pengecualian atau exception. Semua ini tidak sepenuhnya posiif, sebgaimana tidak pula sepenuhnya negatif.


Memang kehidupan manusia memerlukan batasan atas semua yang sudah dihasilkan oleh manusia. Batasan yang dapat memisahkan mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk, kemudian mana yang perlu atau tidak, mana yang penting dan mana lebih penting, mana yang tepat dan mana yang tidak . . . .mana yang sesuai untuk menusia mana yang merugian keberadaannya?!.


Batasan untuk menjadi pemisah untuk dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya dan menghasilkan keseimbangan sertah keharmonian dalam hidup. Jadi bukan hanya keberadaan ulama tidak diperlukan, atau status ulama yang memang sangat diperlukan, tetapi juga perlu meletakkan mereka semuanya pada tempatnya. Suatu batasan kerja yang akan memberikan konstribusi kepada kehidupan komuniti manusia secara mendasar. Tanpa adanya batasan maka akan terjadi kekacauan dalam nilai dan selanjutnya akan berakibat hilangnya nilai keseimbangan yang diperlukan, yang akhirnya hilangnya kepercayaan manusia akan nilai-nilai kehidupan dan juga hilangnya nilai kearifan “ulama” sebagai pedoman hidup bersama.


Ulama perlu memahami bahawa adanya keberadaan manusia yang memerlukan bimbingan yang absolute. Nilai-nilai itu hanya dapat dicapai dengan memahami pengetahuan yang cukup untuk nilai tersebut. Yang lebih penting lagi bukan saja mengetahui dan memahami nilai-nilai absolute tetapi juga bagaimana meletakkan nilai-nilai itu dalam kehidupan manusia. Menjadikan nilai-nilai absolute itu menjadi bahagian yang tidak terpisah dari kehidupan dan menjadikan kehidupan manusia selalu terikat dengannya. Nilai yang dapat mengikat manusia dan juga menjadi pengikat satu dengan yang lain.
Inilah semestinya menjadi kerja ulama, terutama ulama agama. Dengan keyakinan bahawa ulama adalah pewaris para nabi, yang bererti pembawa risalah Ilahi yang semuanya bernilai absolute. Ulama tidak saja bertugas menyampaikan risalah tersebut tetapi juga menjadi “contoh” atau “uswah” dalam pelaksanaan nilai-nilai Ilahi yang absolute itu. Tentu sahaja “contoh” dan uswah atau mitsal disini bukan sahaja pada dirinya sendiri tetapi juga membawanya kedalam kehidupan bersama. Meletakkan nilai-nilai Ilahi pada kehidupan masyarakat sehingga masyarakat akan terlepas dari semua bentuk nilai yang tidak diperlukannya. Nilai yang melepaskan manusia dari nilai Ilahi. Tujuan semua ini adalah menjadikan manusia yang Ilahi, manusia yang membawa nilai KeTuhanan sebagaimana yang ditemui dalam nilai absolute itu sendiri.


Dengan alasan inilah ulama memiliki tanggungjawab yang berat dan bertugas dengan tugas sebagaimana para anbiya’. Jadi bukan hanya sekadar membawa ilmu dan menjadi pembawa tanpa membentuk dirinya dan menjadikan ilmu sebagai simbol kehidupan. Bukan ulama yang bernilai sebagaimana keledai pembawa buku-buku sebagaimana dinukilkan dalam surah Jum’at ayat 5: ”Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian tiada memikulnya adalah seperti keledai yang memikul kitab-kitab yang tebal. Sangat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat ayat Allah itu. Dan Alah tiada memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.”


Permasalahan disini bukan hanya memiliki ilmu dan berstatus ulama dengan ilmu yang dimilikinya, tetapi melaksanakan ilmu tersebut dalam kehidupan bersama. Para ulama adalah mereka yang mengaku sebagai pembawa ilmu kenabian dan sudah selayaknya mereka hidup sebagaimana nabi yang menjadi contoh dalam kehidupan manusia.


Ilmu absolute yang datang dari ajaran ilahi akan membimbing manusia ketika dibawa oleh orang-orang yang bijak. Tetapi kalau disalahgunakan atau disalah ertikan maka akan menjadi bahaya yang tidak dapat dibayangkan kerana nilai kebenaran yang didasari dengan keyakinan akan membawa manusia ke arah yang sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan itu sendiri. Kebenaran yang ditujukan untuk kebatilan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Khalifah Ali ra: “Kalimat atau ungkapan yang haq yang ditujukan untuk kebatilan.”. Hal seperti ini boleh terjadi bila dan dimana pun.
Untuk itulah seorang ulama bukan sahaja menyampaikan ilmu dan nilai absolute tetapi juga dia tahu bila dan untuk apa dan kondisi bagaimana ungkapan itu disampaikan. Kalau dia salah dengan menyamakan ungkapan tersebut maka erti yang membawa nilai haq itu akan difahami dengan bathil dan salah.


Sebagaimana contoh yang baru sahaja berada dihadapan kita, ketika seorang alim (Yusuf Qardawi) yang hendak membawa kes Anwar Ibrahim ke taraf antarabangsa. Hal ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai islam itu sendiri kerana Islam memiliki pola keadilan yang jelas dan ini tentu difahami oleh Dr Yusuf Qardawi.
Beliau sendiri pernah menyatakan bahawa : "the Shari'ah cannot be amended to conform to changing human values and standards, rather, it is the absolute norm to which all human values and conduct must conform ...".

http://www.islamonline.net/askaboutislam/display.asp?hquestionID=5978)

Di mana nilai-nilai absolute perlu dibawakan untuk manusia sehingga manusia akan menikmati nilai-nilai Ilahi sebagaimana yang dikehendaki Allah dan diri manusia. Nilai-nilai Ilahi adalah nilai yang diperlukan manusia.

Dalam kes liwat, Dr Qardawi juga menyatakan:” Muslim jurists hold different opinions concerning the punishment for this abominable practice. Should it be the same as the punishment for fornication, or should both the active and passive participants be put to death? While such punishments may seem cruel, they have been suggested to maintain the purity of the Islamic society and to keep it clean of perverted elements."


Maka pelaku liwat tidak mungkin lepas daripada hukum, sekalipun hukumnya nampak negatif oleh sebahagian manusia. Siapa pun pelakunya, maka ketika terbukti dia wajib dihukum sebagaimana yang sudah ditentukan. Tinggal saja pembuktian daripada pelaku yang tertuduh yang akan dilakukan oleh pangadilan syariat. Maka mereka memiliki kaidah yang sama saja, kerana hukum Islam tidak berubah dimanapun dia, sehingga tidak perlu dibawa ketempat lain, ketika adanya mahkamah syariah ditempat tersebut.
Sangat tidak bijaksana tuntutan Dr Yusuf Qardawi yang hendak membawa kes liwat Anwar Ibrahim ke pengadilan internasional kerana hal ini telah mencampakkan institusi kerajaan dan juga pengadilan Islam itu sendiri, termasuk menjatuhkan maruah diri Dr Qaradawi yang semestinya menjunjung tinggi institusi yang menjadi bahagian daripada apa yang diyakininya.


Kecuali hal ini dibaca dengan cara lain, iaitu adanya maksud tertentu yang tersembunyi kerana tidak mungkin seorang ulama setaraf Qardawi membuat kesalahan seperti ini. Paling tidak dia semestinya mengatakan sebagaimana yang dikatakannya kepada Mahmud Abbas, ketika dia dituduh ikut terlibat dengan Israel dalam melakukan perang melawan penduduk Gaza. Beliau mengatakan: ” Kalau terbukti hal tersebut maka dia boleh dijatuhkan hukuman mati.”. Kenapa dia menggunakan kata “kalau” untuk Mahmud Abbas atas tuduhan itu. Bukankah di sini kerana perlunya pembuktian, dan pembuktian itu wajib dilakukan oleh mahkamah, yang kemudian akan menjatuhkan hukum.


Kenapa dalam kes ini beliau telah menentukan hukum (sekalipun) dengan kata kalau, tetapi telah menetapkan hukuman mati?. Kenapa dalam kes liwat Anwar beliau tidak mengatakannya, kalau dia terbukti melakukan hal tersebut maka dia wajib dihukum dengan hukum yang sudah ditentukan Islam sebagaimana diyakininya?. Kenapa dalam kes Anwar dia tidak mengatakan:”kalau terbukti hal tersebut maka dia akan dihukum mati”, sebagaimana hukum yang diyakini beliau untuk pelaku liwat.


Apa beza Mahmud Abbas dan Anwar Ibrahim dihadapan hukum Islam dan mahkamah? Tidak ada bezanya!. Keduanya sama. Semua orang sama, yang benar tidak patut dihukum dan hanya yang bersalah yang wajib menerima padah dan hukuman yang sudah ditetapkan.
Ketidak bijaksanaan ulama ini akan membawa penilaian yang menjatuhkan nilai-nilai ulama, dan juga nilai Islam itu sendiri. Lebih jauh lagi bahawa, membuka kesempatan orang Islam akan diserang rasa ragu akan tindakan seorang ulama. Sehingga orang akan berfikir; “siapa yang untung oleh kenyataan ulama itu?”. Apakah Itu menjadi tuntutan Islam, atau tuntutan kerajaan Malaysia yang berdaulat atau yang lain?. Apakah dalam hal ini, tidak membuka keraguan pada institusi keadilan?. Pada akhirnya, apakah imej ulama seperti Qardawi akan tetap dapat dipertahankan, bukankah dia membuka penilaian bahawa adanya double standard dalam menilai?.


Lebih jauh lagi, bukankah musuh Islam memiliki kesempatan baik untuk memecahbelahkan umat Islam dengan memberikan gambaran bahwa institusi keadilan suatu kerajaan boleh dipersoalkan dan setiap waktu menuntut ulama perlu berbicara untuk mempersoalkan keputusan institusi itu?. Bukankah ulama akhirnya akan saling mempersoalkan ketetapan hukum yang telah ditentukan. Bukankah akhirnya juga musuh akan mengambil keuntungan atas ketidak bijaksanaan ulama tersebut?.


Yang pasti, Islam tidak untung dengan kenyataan yang dibuat oleh Yusuf Qardawi yang sudah bergelar Doktor itu. Gelaran yang sudah semestinya membawa nilai bijak dan matang dalam menjatuhkan hukum, tetapi kenyataannya bertentangan dengan pernyatannya sendiri. Sehingga nampak ada sesuatu dibalik pernyataan tersebut, kerana kalau dinilai dengan Islam, maka Islam memiliki penilaian yang tetap dan pelaksanaannya dapat dilaksanakan dengan institusi mahkamah yang telah ditetapkan dan diakui. Maka kenapa ada double standard oleh Qaradawi dalam kes liwat Anwar?!.


Bukan hendak mempertanyakan kredibiliti keulamaan Yusuf Qardawi, tetapi semua ini telah membuktikan tidak bijaksananya beliau dalam menangani kes yang ada di dalam dunia Islam. Dengan alasan ini membawa beliau pada posisi yang tidak stabil pada status ulama yang bijaksana dalam menjalankan hukum. Beliau tahu hukum, tahu bagaimana menjalankannya,tetapi tidak dapat meletakkan hukum atas kes yang ada. Disinilah orang boleh mempersoalkan kebijaksanaan beliau dalam menangani kes di dunia Islam kerana gelaran keilmuan adalah seperti juga membawa kitab - kitab, dan kita -kitab bukan hanya di bawa seperti keledai membawanya, tetapi perlu bijak dalam melaksanakannya.


Semoga Yusuf Qardawi juga menyedari bahawa alam akan fasad kalau alim melakukan kefasadan, termasuk membawa hukum Ilahi dengan tidak bijaksana. Ini semua membuktikan bahawa hingga sekarang diperlukan ulama berkualiti nabi,bukan hanya ulama bergelar ulama.

Saturday, January 16, 2010

ALASAN "MENGELIRUKAN" MENUTUP MINDA

Salam,

"Mengelirukan" maka jangan dibincang atau didiskusikan kerana akan menyebabkan kita berpecah dan juga masyarakat berpecah. Dari segi logiknya, semua hal yang mengelirukan perlu diperhalusi sehingga tidak lagi mengelirukan. Sebagai satu contoh, konsep Islam Hadhari dikatakan mengelirukan dan tidak boleh diterima maka berhentilah kita untuk terus mengekalkan kekeliruan itu.

1Malaysia juga dikatakan mengelirukan. Dibahagian mana yang mengelirukan tidak jelas tapi dikatakan mengelirukan. 1Malaysia apakah seperti Malaysian Malaysia? Sudahpun diperjelaskan ianya tidak sama kerana ia berpaksi kepada Perlembagaan Persekutuan yang masih mengekalkan hak keistimewaan orang Melayu..Tapi tetap ada yang mengatakan mengelirukan.

Kalimah Allah digunakan oleh agama Kristian juga dikatakan boleh mengelirukan. Betul ke? Kalau kita kata Allah telah berfirman bahawa anaknya tidak akan.....sebagai contoh, apakah kita masih keliru ianya Allah kristian atau Islam? Kita Melayu selalu merasakan sesuatu istilah itu milik eksklusif Islam sedangkan ianya digunakan oleh bangsa Arab kerana Islam dikembangkan dengan bahasa Arab. Sebagai contoh perkataan wafat, kita orang Melayu merasa ianya hanya untuk Rasul dan para Nabi padahal ia perkataan Arab yan membawa maksud meninggal dunia.

Maka alasan "mengelirukan" ini seringkali digunakan untuk kita lebih keliru tanpa perbincangan lanjut.

Sepatutnya kalau keliru kita semakin menggalakkan perbincangan bukan menutup perbincangan.

Thursday, January 14, 2010

PEMBENARAN PENGGUNAAN KALIMAH ALLAH .

Salam,


Allah adalah sebutan terhadap Diri Tuhan yang ditetapkan oleh Dirinya Sendiri. Oleh itu, penyebutan Allah bukan ditentukan oleh siapapun kecuali oleh Dirinya sendiri. Sebagaimana difirmankan di dalam Al-Quran dalam surat An Naml ayat 9: “Hai Musa, sesungguhnya Akulah Allah, yang Maha Perkasa lagi Maha Pemurah”. Juga terdapat pengakuan yang sama pada surah Al Qashash ayat 30: ”… ya Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semesta Alam”.


Pada surah Al Ankabut ayat 46 Allah berfirman: “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahlil Kitab,melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada (Kitab- kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu, dan kami hanyalah kepada-Nya berserah diri.”.


Kata Allah yang ditulis dalam abjad latin diambil dari Allah, iaitu alif lam lam ha dengan sabdu pada lam kedua, diambil dari bahasa Arab dan umat Islam membacanya mengikut cara orang-orang Arab menbaca. Sekalipun tidak menutup kemungkinan ramai umat Islam yang tidak dapat atau tidak mampu untuk mengutarakannya dengan fasih. Hal ini adalah kerana adanya kebiasaan dari pola bercakap dalam bahasa masing-masing (nasional ataupun daerah). Setiap umat Islam memang berusaha untuk boleh melafazkan dengan benar dan betul sehingga dapat menyatakan maksud yang diinginkan sesuai dengan bahasa aslinya (bahasa Arab).


Pada prinsipnya, kata Allah membawa makna satu, iaitu Tuhan Pencipta alam semesta dan juga Zat Yang mana semua tergantung kepada-Nya. Dia yang mengatur, menghidayahi dan mentarbiah semua keberadaaan selain daripada-Nya (makhluk-Nya). Semua sifat mutlak ada pada diri-Nya dan semua sifat yang negatif bersih atau tidak ada pada-Nya.


Allah adalah Tuhan semua makhluk dan semua para nabi, mulai dari nabi Adam as hingga nabi Muhammad saw. Tidak ada satu masapun makhlukNya dibiarkan tanpa dibimbing dengan agama atau bimbingan daripada-Nya. Maka manusia secara umum mengetahui bahawa adanya beberapa agama yang dinyatakan datang daripada-Nya. Iaitu agama Yahudi dan Nasrani. Pengikut kedua agama ini dinamakan oleh umat Islam sebagai Ahlil Kitab. Ini adalah kerana mereka dinyatakan dalam Kitab Umat Islam (Quran) bahawa Yahudi pengikut kitab Taurat dan Nasrani mengikuti kitab Injil. Keduanya adalah kitab yang datang daripada Allah kerana diturunkan kepada nabi-nabi-Nya.


Hakikat daripada agama Ibrahimi ini adalah agama Allah dan mereka menyembah Allah, sekalipun mungkin penyebutan nama Allah disebutkan dengan lafaz yang berbeza tetapi tidak menutup kemungkinan akan ada kesamaan dalam menyebut nama Tuhan yang sama, iaitu Allah.


Memang pengikut Nasrani, kerana kurangnya pengikut Yahudi di Asia Tenggara, banyak sekali tidak menyebut nama Allah dengan dasar pengungkapan dari bahasa Arab, iaitu dengan dasar Alif lam lam ha, Allah tetapi dibaca dengan mudah dan ringan seperti membaca ungkapan latin biasa. Seperti kaum nasrani di Indonesia, hampir semuanya menyebut Tuhan mereka dengan Allah tetapi tidak dalam penyebutan sebagaimana muslimin mengutarakan ungkapan itu. Sementara di Filipina mereka lebih banyak menggunakan ungkapan dari bahwa Inggeris dengan ungkapan Lord atau God.
Semua kaum Nasrani di Tanah Arab, menyebut Tuhan mereka dengan kata Allah sebagaimana muslimin mengatakan Allah, tidak ada perbezaan di antara keduanya. Hanya saja mereka selalu menambahkan Allah al Ab (Tuhan Bapak) dan Allah al Ibn (Tuhan Anak) tetapi pengucapan lafaz Allah tidak ada bezanya dengan lafaz yang diutarakan oleh muslimin, kerana bahasa Arab sama sahaja pengutaraannya.
Yahudi, kerana dasar bahasa yang berbeza, Ibrani, mereka menyebut nama Tuhan mereka dengan ungkapan berbeza, tetapi memiliki maksud yang sama dengan Allah yang difahami umat Islam, iaitu Pencipta alam semesta.


Maka lafaz Allah disini memiliki dua sisi:

1. Allah yang merupakan lafaz yang memiliki makna yang sama, dengan pengutaraan yang sama atau tidak, fasih atau tidak, iaitu Allah membawakan makna Tuhan Pencipta alam, Tuhan bagi semua makhluk.

2. Allah yang memiliki makna yang berbeza sekalipun memiliki ucapan yang sama. Iaitu terbukanya kemungkinan adanya pengutaraan kata Allah dengan pengutaraan dan lafaz yang sama tetapi memiliki makna yang berbeza, atau difahami sebagai makna yang berbeza.


Dari sisi pertama, dapat difahami bahwa semua agama samawi atau juga dikenal sebagai agama Ibrahimi, akan masuk dalam golongan ini. Sekalipun adanya variasi pengucapan atau pengutaraan lafaz Allah, tetapi yang dimaksudkan adalah Allah, Tuhan semesta alam, Tuhan yang memberikan kitab dan agama kepada mereka sehingga masing-masing merasa berada di jalan agama Allah dan menyembah Allah, yang Esa.
Memang dasar ketuhanan semua agama samawi adalah satu, tetapi pada perbahasan yang lebih terperinci dan disinilah terdapat perselisihan pandangan dari masing-masing agama. Tidak ada pengecualian, baik Yahudi, Nasrani dan juga Islam.
Semua agama samawi mengakui adanya ke-Esa-an Allah, tetapi terdapat interpretasi yang berbeza dengan pemahaman Esa tersebut. Seperti pemahaman Triniti yang difahami oleh pengikut Nasrani, mereka tidak mengatakan bahawa Tuhan mereka ada tiga, tetapi Tuhan mereka adalah satu (Esa) tetapi dengan interpretasi adanya tiga dari substansi yang tunggal. Hubungan Tuhan bapa, Tuhan anak dan roh kudus adalah hubungan tiga pada satu substansi, yang kembalinya kepada ke-Esa-an juga.
Di dalam agama Islam, sesame umat Islam juga memiliki perbezaan dalam memahami Allah yang mereka yakini adalah Esa. Semua muslimin sepakat bahwa Allah adalah Ahad, Wahid dan Samad tetapi sebahagian umat Islam memahami bahawa Allah memiliki ‘tangan’ atau ‘kaki’ (dengan berbagai definisi dan pemahaman makna tangan dan kaki ) yang bererti adanya anggota. Dengan konsekuensi bahawa pemahaman itu akan membawa kepada pemikiran bahwa Allah bertempat dan memiliki anggota, sehingga bertentangan dengan pemahaman Ahad dan Wahid serta Samad.

Dalam hal ini, semua muslimin berkeyakinan bahawa Allah adalah Ahad, sehingga nampak secara jelas adanya perbezaan interpretasi dasar dengan pemahaman konsep Trinity.
Dari semua hal yang disebutkan di atas, ungkapan lafaz Allah masih dan tetap memiliki pemahaman bahawa Allah yang Esa (Ahad) dan Tuhan Pencipta dan Tuhan bagi semua makhluk yang ada. Tidak ada perbezaan, baik mereka menyebut Allah dengan benar atau tidak, baik dengan lafaz Arabic atau latin dan local, tetapi memiliki maksud yang sama.
Kita tidak menutup kemungkinan bahawa pemahaman trinity akan juga membawa makna tiga yang satu sehingga sangat jauh maknanya dengan makna tauhid yang difahami Islam dan pengikutnya, sekalipun mereka (umat Nasrani) tetap berpengang pada makna trinity yang kembali kepada makna monotheis.


Dari sisi kedua, lafaz Allah difahami dengan makna berbeza. Hal ini boleh terjadi di dalam beberapa hal.

a. Pada masa awal Islam di jazirah Arab, di mana bangsa Arab pada masa itu juga memiliki tuhan yang bernama Allah, yang juga bererti tuhan pencipta, tetapi mereka membentuk tuhan (yang mereka sebut dengan Allah) itu dengan bentuk batu (patung) berhala. Jadi, ketika Rasulullah Muhammad saw datang dan mengajarkan agama Allah iaitu Islam, mereka (kuffar Mekah) juga tetap dengan ajaran nenek moyang orang Arab, yang secara harfiah memiliki lafaz yang sama dengan Tuhan umat Islam.

Mereka tidak hairan dengan nama Abdullah (hamba Allah), (bapa kepada Nabi Muhammad saw), kerana mereka juga memahami makna Allah sekalipun makna yang mereka fahami jauh berbeza dengan yang difahami oleh Abdullah atau Islam.


b. Adanya kesalahan pemahaman, baik dengan sengaja ataupun tidak, yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan nama Allah. Hal ini boleh sahaja terjadi ketika adanya salah dalam proses pendidikan sehingga sampainya pengetahuan kepada murid juga salah. Atau tidak atau kurangnya persiapan dalam pendidikan, sehinggakan boleh sahaja pendidik menyampaikan hal yang salah atau penerima pengetahuan itu mendapatkan interpretasi yang salah. Sehingga akan membawa kepada banyaknya interpretasi yang berbeza dan juga pemahaman yang berbeza, sekalipun dari kata yang sama.

c. Perjalanan waktu, dengan tidak ada batasan yang mutlak boleh menyebabkan hal tersebut di atas terjadi, kerana banyaknya dasar pola pemikiran sehingga banyak pula interpretasi yang dibuat. Seperti terjadinya trinity atau juga pandangan sebahagian ulama. Terjadinya kesalahan bukan kerana dasar yang salah, atau niat yang tidak betul, tetapi boleh jadi kerana tidak adanya dasar yang cukup kuat bagi penyampai atau penerima pengetahuan.




d. Perbezaan yang datang dari pemahaman dasar kata (bahasa). Seperti kata Allah, sebahagian ulama berpendapat ianya merupakan satu kata, iaitu satu kata untuk nama Tuhan. Sementara ada yang berpendapat bahawa Allah adalah takrif untuk ilah yang didahului dengan alif lam (takrif).
Apa yang terjadi sekarang adalah terjadinya banyak kejadian dari sekian banyak kemungkinan yang datangnya dari proses waktu dan pengajaran manusia untuk memahami kebenaran agamanya.
Allah, kata yang difahami oleh pengikut agama samawi (agama Ibrahimi) untuk Tuhan Pencipta alam semesta, Tuhan bagi semua makhluk.
Sebahagian mereka menyatakan dengan lafaz Arab dan sebahagian lagi tidak dapat menyatakannya dengan lafaz Arab. Baik muslimin maupun non-Muslim. Semua kaum Nasrani di Arab mengutarakan kata Allah sama dengan bagaimana Muslimin mengatakan Allah dengan dasar bahasa Arab yang fasih.
Untuk itu sangat susah untuk kita melarang orang-orang Nasrani untuk tidak mengutarakan kata Allah dengan ungkapan atau lafaz Allah, baik dengan lafaz yang benar maupun tidak, kerana mereka sudah mengutarakan kata itu dengan benar dan sebahagiannya dengan salah, sekalipun pemahaman mereka boleh jadi berbeza dengan akidah muslimin.
Hal ini terjadi kerana beberapa faktor :-
Faktor pertama, kerana mereka juga memiliki agama yang datang dari Tuhan yang sama, kerana Allah, adalah Allah bagi nabi Isa dan juga nabi Muhammad, Allah bagi semua makhluk.


Maka semestinya muslimin mencuba untuk memahami adanya faktor kesamaan sumber ajaran yang sama, sehingga banyak hal yang akan sama dari berbagai perbezaan yang dilakukan oleh pengikut suatu agama, terutama agama samawi.
Lafaz bahasa, ketika lafaz Arab yang digunakan, baik dengan fasih atau tidak, dan memang begitu mereka harus melafazkan, maka kenapa kita harus merubah hal itu sehingga memaksa mereka mencari alternatif lain yang menurut mereka sudah benar. Sementara di satu sisi yang lain, adanya perbezaan interpretasi makna, dan ini tidak seharusnya menjadi alasan untuk melarang mereka mengutarakan apa yang ada di dalam ajaran mereka.


Bagaimana kita hendak memahami adanya pelarangan ini, sementara dibelahan dunia lain pengikut ajaran ini mengutarakan dengan ungkapan Arab yang fasih sebagaimana muslimin mengutarakan kata Allah. Lebih pelik lagi, bagaimana kita hendak melarangnya, ketika adanya sebagian muslimin atau parti Islam yang merasa bangga adanya orang kafir mengutarakan dan melafazkan ayat-ayat suci al Quran, yang sama sekali maknanya ditolaknya atau dikafirinya. . ..”Dan tidak adalah yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang orang kafir”. (Al Ankabut, 47)

Popular Posts